![]() |
Ilustrasi logo Google. Foto diambil di Kantor Google, Jakarta Selatan, Rabu (13/11/2024). |
Google Bayar Rp22 Triliun kepada Negara Bagian Texas Atas Dugaan Pelanggaran Privasi Pengguna
Skandal Privasi Terbesar Google di Amerika Serikat
Perusahaan teknologi raksasa, Google, kembali menjadi sorotan global setelah menyetujui penyelesaian hukum sebesar 1,375 miliar dolar AS atau sekitar Rp22 triliun kepada negara bagian Texas, Amerika Serikat. Penyelesaian ini terkait dua gugatan besar yang menuduh Google telah melakukan pelacakan data lokasi, pencarian pribadi dalam mode penyamaran (incognito), serta pengumpulan data suara dan wajah pengguna—semuanya tanpa persetujuan eksplisit dari pengguna.
Gugatan tersebut diajukan oleh Jaksa Agung Texas, Ken Paxton, pada tahun 2022. Ia menuding Google secara sistematis dan diam-diam melacak perilaku digital warganya. Langkah hukum ini merupakan bagian dari komitmen negara bagian tersebut dalam menegakkan perlindungan data privasi warganya.
“Di Texas, Big Tech tidak kebal hukum,” tegas Paxton dalam pernyataan resminya yang dikutip dari TechCrunch, Senin (12/5/2025).
Latar Belakang Gugatan
Kasus ini bukan yang pertama menyasar Google. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan yang berada di bawah payung Alphabet Inc. itu memang kerap dituduh mengabaikan privasi pengguna. Di Texas, permasalahan mulai mengemuka ketika sejumlah pengguna melaporkan adanya pencatatan lokasi meskipun mereka telah mematikan fitur pelacakan.
Jaksa Agung Paxton juga mengungkap bahwa Google menyimpan jejak suara dan data wajah pengguna melalui berbagai layanannya seperti Google Assistant, Google Photos, dan YouTube. Bahkan, data ini diduga tetap dikumpulkan meski pengguna telah menonaktifkan fitur tertentu atau menggunakan mode penyamaran.
Paralel dengan Kasus Meta (Facebook)
Menariknya, jumlah penyelesaian ini setara dengan kompensasi yang pernah dibayarkan oleh Meta—perusahaan induk Facebook—kepada negara bagian Texas pada tahun sebelumnya. Meta setuju membayar jumlah yang sama untuk menyelesaikan gugatan terkait fitur pengenalan wajah yang dianggap melanggar privasi pengguna.
Kesamaan nilai ini menandakan bahwa pemerintah Texas tidak hanya menyasar satu perusahaan, tetapi melakukan audit dan penegakan hukum secara menyeluruh terhadap praktik privasi perusahaan teknologi raksasa (Big Tech).
Pernyataan Google: Tidak Mengakui Kesalahan
Meski menyetujui penyelesaian hukum bernilai besar tersebut, Google menegaskan bahwa mereka tidak mengakui kesalahan atau tanggung jawab apapun. Dalam sebuah pernyataan resmi, juru bicara Google, José Castañeda, menyatakan bahwa gugatan tersebut menyangkut kebijakan produk yang sebagian besar telah diperbarui sejak lama.
“Ini menyelesaikan sejumlah tuntutan lama, yang banyak di antaranya telah diselesaikan di tempat lain,” ujarnya.
Google juga menekankan bahwa tidak ada perubahan tambahan yang perlu dilakukan pada produk atau layanan mereka sebagai bagian dari penyelesaian ini. Namun, mereka berkomitmen untuk terus memperkuat sistem kontrol privasi di dalam ekosistem layanannya.
Reaksi Publik dan Pakar Teknologi
Penyelesaian hukum ini menuai berbagai reaksi, baik dari kalangan pengguna maupun pakar teknologi. Sebagian menyambut baik langkah tegas pemerintah negara bagian Texas karena dianggap menunjukkan keberpihakan terhadap perlindungan data pribadi.
Dr. Rachel Simmons, pakar hukum siber dari Universitas Harvard, menyatakan bahwa kasus ini bisa menjadi preseden penting dalam regulasi Big Tech.
“Ini bukan hanya tentang denda besar. Ini tentang memberi sinyal bahwa praktik manipulatif terhadap data pribadi tidak akan dibiarkan begitu saja,” ujarnya.
Namun, sebagian pihak mengkritik fakta bahwa perusahaan sebesar Google dapat menyelesaikan gugatan hukum hanya dengan membayar kompensasi tanpa harus mengakui kesalahan ataupun mengubah operasional layanan mereka secara signifikan.
Apa yang Dilanggar Google?
Beberapa poin utama dalam gugatan tersebut mencakup:
-
Pelacakan Lokasi: Google diduga tetap melacak lokasi pengguna meskipun fitur lokasi telah dimatikan.
-
Mode Penyamaran (Incognito): Google masih mencatat aktivitas pengguna meski menggunakan mode pribadi di browser Chrome.
-
Pengumpulan Data Biometrik: Termasuk suara dan geometri wajah, dikumpulkan tanpa izin eksplisit pengguna.
-
Kurangnya Transparansi: Pengguna tidak diberikan pemahaman yang jelas tentang bagaimana data mereka digunakan atau disimpan.
Imbas Jangka Panjang bagi Google
Walaupun denda ini tampaknya tidak memberikan dampak finansial besar bagi Google yang memiliki valuasi triliunan dolar, secara reputasi, kasus ini menambah daftar panjang skandal privasi yang merusak citra publik mereka.
Di sisi lain, penyelesaian ini juga membuka kemungkinan bahwa negara bagian lain akan mengajukan tuntutan serupa. Ini dapat menimbulkan tren baru dalam litigasi data privasi terhadap perusahaan teknologi di tingkat lokal di Amerika Serikat.
Dampak bagi Pengguna Global
Meskipun gugatan berasal dari Amerika Serikat, kebijakan privasi Google secara global dapat terdampak. Banyak pakar menyarankan pengguna untuk:
-
Memeriksa Pengaturan Privasi Secara Berkala
-
Menggunakan Mode Penyamaran dengan Waspada
-
Menonaktifkan Izin Mikrofon dan Kamera saat Tidak Digunakan
-
Menghapus Data Aktivitas Secara Berkala di Akun Google
-
Menggunakan VPN atau Browser Privasi seperti DuckDuckGo atau Brave
Tantangan Privasi di Era Digital
Kasus ini kembali menyoroti lemahnya perlindungan hukum bagi privasi data digital, tidak hanya di AS tetapi juga di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Meski Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), penerapannya masih dalam tahap awal dan belum menjangkau kompleksitas data lintas negara.
Jika tidak ada ketegasan dari regulator dan pemerintah, bukan tidak mungkin pengguna Indonesia juga mengalami pelanggaran serupa tanpa sadar.
Kesimpulan
Penyelesaian hukum senilai Rp22 triliun antara Google dan negara bagian Texas merupakan salah satu penegakan hukum privasi terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Meski tanpa pengakuan kesalahan dari Google, kasus ini menjadi pengingat penting bagi perusahaan teknologi bahwa era “asal pakai data” telah berakhir. Privasi kini menjadi barang mahal dan hak yang harus diperjuangkan, bukan dikorbankan atas nama kenyamanan digital.
Kunjungi juga: Daungroup Indonesia
0 Komentar