PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, maskapai kebanggaan nasional yang telah lama menjadi ikon penerbangan Tanah Air, tengah menghadapi badai internal yang cukup serius. Ketegangan ini mengemuka setelah Asosiasi Pilot Garuda (APG) mengeluarkan pernyataan resmi yang menyoroti berbagai permasalahan struktural dan kebijakan manajerial yang dinilai menyimpang dari prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Dalam keterangannya, APG menyampaikan sejumlah poin krusial yang menjadi sumber ketegangan. Mulai dari proses perekrutan pegawai yang tidak transparan dan dianggap mengabaikan prinsip efisiensi, hingga tindakan-tindakan represif terhadap pengurus serikat pekerja. Tidak hanya itu, pemutusan sepihak terhadap iuran serikat pekerja serta upaya kriminalisasi pimpinan APG melalui pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga disebutkan dalam pernyataan tersebut.
Perekrutan Pegawai Dinilai Tidak Efisien
Salah satu isu utama yang disorot APG adalah proses perekrutan pegawai yang dinilai tidak sesuai dengan semangat efisiensi perusahaan. Sejumlah posisi strategis diisi oleh individu yang menurut APG tidak memiliki kompetensi yang memadai, atau bahkan memiliki latar belakang yang meragukan dalam konteks industri penerbangan.
Padahal, pasca pemulihan bisnis akibat pandemi dan upaya restrukturisasi besar-besaran yang dilakukan perusahaan, efisiensi dan optimalisasi SDM menjadi hal yang sangat krusial untuk menjamin kelangsungan bisnis maskapai nasional ini.
Pemutusan Iuran Serikat Secara Sepihak
APG juga menyoroti tindakan manajemen yang memutus aliran iuran anggota ke rekening serikat secara sepihak. Kebijakan ini dinilai sebagai bentuk intervensi yang melanggar independensi serikat pekerja.
"Iuran yang dipotong dari gaji anggota adalah bentuk solidaritas internal dan hak setiap pekerja yang tergabung dalam serikat. Pemutusan aliran dana ini tidak hanya melumpuhkan operasional serikat, tapi juga melanggar prinsip kebebasan berserikat yang dilindungi oleh undang-undang," kata perwakilan APG dalam rilis resmi mereka.
Pembatasan Kebebasan Berpendapat
Dalam pernyataannya, APG juga mengungkapkan adanya indikasi pembatasan kebebasan berpendapat di lingkungan kerja. Para anggota serikat disebut mengalami intimidasi atau tekanan saat menyuarakan kritik terhadap kebijakan manajemen. Hal ini menciptakan atmosfer kerja yang tidak sehat dan bisa berdampak negatif terhadap profesionalisme serta keamanan penerbangan.
Kondisi ini kontras dengan semangat reformasi birokrasi dan tata kelola perusahaan yang seharusnya transparan, partisipatif, dan akuntabel.
Dugaan Kriminalisasi Pimpinan Serikat Melalui UU ITE
Salah satu poin yang paling memantik perhatian publik adalah dugaan kriminalisasi terhadap pimpinan APG melalui pasal-pasal dalam UU ITE. APG menyebutkan bahwa kritik dan aspirasi yang disampaikan pengurus serikat justru dibalas dengan laporan hukum yang memanfaatkan pasal-pasal multitafsir dalam undang-undang tersebut.
Tindakan ini dikhawatirkan akan menciptakan efek jera bagi pekerja lainnya yang ingin menyuarakan hak dan aspirasinya. Penggunaan UU ITE terhadap serikat pekerja dianggap sebagai bentuk kemunduran dalam demokratisasi industrial.
Imbas Terhadap Kinerja Perusahaan
Ketegangan internal ini dikhawatirkan berdampak terhadap kinerja dan reputasi Garuda Indonesia secara keseluruhan. Kepercayaan publik, investor, dan mitra bisnis sangat bergantung pada kestabilan internal dan iklim kerja yang profesional.
Para pengamat industri menilai bahwa ketegangan seperti ini seharusnya dapat dihindari jika komunikasi antara manajemen dan serikat pekerja berjalan dengan baik dan terbuka. Konflik berkepanjangan hanya akan merugikan perusahaan dan menimbulkan citra negatif di mata internasional.
Tanggapan Manajemen Garuda Indonesia
Hingga berita ini diturunkan, pihak manajemen Garuda Indonesia belum memberikan pernyataan resmi terkait kritik dari APG. Namun, beberapa sumber internal menyebutkan bahwa perusahaan sedang menyiapkan klarifikasi dan akan membuka ruang dialog dengan serikat pekerja dalam waktu dekat.
Sementara itu, Kementerian BUMN sebagai pemegang saham mayoritas di Garuda Indonesia juga diharapkan turun tangan untuk menengahi dan mencari solusi atas konflik ini.
Peran Pemerintah dan Stakeholder Terkait
Dalam situasi seperti ini, peran pemerintah sangat penting untuk menjembatani komunikasi antara manajemen dan pekerja. Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian BUMN, serta Komnas HAM dapat turun tangan memberikan mediasi dan memastikan bahwa hak-hak pekerja tidak dilanggar.
Selain itu, DPR RI melalui Komisi VI yang membidangi BUMN juga diharapkan ikut mengawasi dan memanggil pihak-pihak terkait untuk menjelaskan duduk perkara dari konflik ini secara terbuka di ruang publik.
Kesimpulan: Dialog sebagai Solusi Utama
Konflik antara manajemen dan serikat pekerja bukanlah hal baru di dunia industri. Namun, penyelesaiannya sangat tergantung pada kemauan kedua belah pihak untuk duduk bersama dan mencari solusi terbaik demi keberlangsungan perusahaan dan kesejahteraan karyawan.
Sebagai maskapai nasional, Garuda Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi contoh tata kelola perusahaan yang baik dan adil bagi seluruh pihak. Ketegangan seperti ini hanya dapat diselesaikan dengan dialog terbuka, jujur, dan penuh semangat kolaboratif.
Kunjungi juga: Daungroup Indonesia
0 Komentar