Kasus Codeblu vs Clairmont: Kritik Nastar Berujung Hukum

codeblue bersama staff dapur
codeblue bersama staff dapur

Kasus Codeblu vs Clairmont: Dari Nastar Berjamur ke Mediasi Gagal

Bau harum kue nastar yang biasanya identik dengan kehangatan dan kebahagiaan di musim liburan mendadak menjadi sumber konflik panas yang mengguncang dunia kuliner Indonesia. Kisah ini bukan fiksi, melainkan nyata: perseteruan sengit antara food vlogger ternama William Anderson, yang lebih dikenal dengan nama Codeblu, dan perusahaan kue kenamaan Clairmont. Sebuah video berdurasi beberapa menit yang diunggah pada awal November 2024 menjadi pemicu badai yang kini masih terus bergulir.

Awal Mula Konflik: Video Viral Tentang Nastar Berjamur

Video tersebut menampilkan potongan kue nastar yang disebut Codeblu "berjamur", disertai dengan gambar-gambar kondisi dapur produksi Clairmont yang diklaim kotor dan tidak higienis. Dalam video itu, bahkan ditampilkan tikus melintas dan bahan makanan yang tampaknya telah melewati tanggal kedaluwarsa. Dengan gaya khasnya yang blak-blakan, Codeblu menyebut bahwa ini bukan sekadar ulasan makanan, melainkan masalah serius tentang kesehatan publik.

“Saya tidak akan diam ketika melihat hal seperti ini. Ini bukan cuma soal rasa atau harga, tapi menyangkut keselamatan orang yang makan,” ujar Codeblu dengan nada serius dalam video tersebut.

Tak butuh waktu lama, video itu viral. Publik pun langsung merespons. Kolom komentar akun resmi Clairmont di berbagai media sosial dibanjiri kecaman. Sejumlah pelanggan menyatakan kehilangan kepercayaan, bahkan menyebarkan tangkapan layar video Codeblu di berbagai platform. Gerai-gerai Clairmont dilaporkan mengalami penurunan kunjungan yang signifikan.

Clairmont Membalas: Laporan Polisi dan Tudingan Hoaks

Tak terima dengan apa yang mereka anggap sebagai pencemaran nama baik, Clairmont melaporkan Codeblu ke Polres Metro Jakarta Selatan pada Desember 2024. Mereka menuding sang vlogger menyebarkan informasi tidak benar dan merusak reputasi perusahaan, serta melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Menurut juru bicara Clairmont, kerugian yang mereka alami tidak tanggung-tanggung — mencapai Rp5 miliar, terutama karena waktu kejadian yang bertepatan dengan musim Natal dan Tahun Baru, saat penjualan biasanya memuncak. Beberapa mitra bisnis bahkan disebut memutuskan kontrak kerja sama akibat hebohnya pemberitaan tersebut.

“Kami tidak akan tinggal diam ketika reputasi dan keberlangsungan bisnis kami dipertaruhkan akibat informasi yang tidak berdasar,” ujar perwakilan hukum Clairmont dalam konferensi pers.

Codeblu Dipanggil Polisi: Klarifikasi dan Tuduhan Pemerasan

Tanggal 11 Maret 2025, Codeblu memenuhi panggilan pemeriksaan dari Polres Metro Jakarta Selatan. Ia datang mengenakan hoodie hitam dan celana jeans, menghindari sorotan kamera sebisa mungkin. Dalam pemeriksaan, ia membantah keras tuduhan bahwa dirinya menyebarkan hoaks atau memeras pihak Clairmont.

Ia menjelaskan bahwa penawaran senilai Rp350 juta yang diajukan kepada pihak Clairmont setelah video viral bukanlah bentuk pemerasan, melainkan "penawaran kerja sama profesional".

“Penawaran itu sah dan terbuka. Bisa diterima, bisa ditolak. Tidak ada unsur paksaan,” tegas Codeblu.

Kronologi Mediasi: Gagal Mencapai Titik Damai

Untuk menyelesaikan perkara ini, mediasi dilakukan pada 18 Maret 2025. Banyak yang berharap kasus ini dapat berakhir damai. Namun kenyataan berbicara lain. Meski Codeblu menyampaikan permintaan maaf, mediasi gagal menemukan titik temu.

Pihak Clairmont bersikeras bahwa permintaan maaf tidak cukup untuk memulihkan kerugian yang telah mereka alami. Apalagi, menurut mereka, informasi dalam video Codeblu berasal dari saksi berinisial R, yang ternyata hanyalah karyawan vendor luar yang terlibat dalam tindakan curang.

Polisi pun menyatakan bahwa mereka akan memanggil saksi R untuk dimintai keterangan lebih lanjut guna memperjelas motif dan kebenaran video tersebut.

Jalur Hukum Berlanjut: Ancaman Perdata di Depan Mata

Karena mediasi gagal, Clairmont mengisyaratkan untuk membawa kasus ini ke jalur perdata sebagai langkah lanjutan untuk menuntut ganti rugi secara hukum. Gugatan ini diproyeksikan bisa mencapai miliaran rupiah, dengan dalih kerugian ekonomi dan reputasi yang sangat besar.

“Nama baik kami tidak bisa diukur dengan kata maaf saja,” kata kuasa hukum Clairmont.

Etika Digital dan Batasan Kritik

Kasus ini membuka diskusi luas di masyarakat tentang etika digital, khususnya di bidang ulasan kuliner. Dunia maya memang memberi kebebasan berekspresi, tetapi apakah kebebasan itu bisa membenarkan segala bentuk konten?

Banyak pengamat menilai bahwa kritik tetap perlu disampaikan dengan data dan pendekatan yang profesional. Di sisi lain, perusahaan juga dituntut untuk lebih transparan dan terbuka terhadap masukan dari pelanggan.

Profesor Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia, Dr. Fitriani Nurhaliza, menyatakan bahwa kasus ini mencerminkan perubahan zaman. “Dulu, review terbatas pada media massa atau mulut ke mulut. Sekarang, satu video TikTok bisa menghancurkan atau mengangkat reputasi dalam semalam.”

Dampak pada Dunia Kuliner dan Influencer

Para pelaku industri kuliner kini mulai merasa waspada. Tidak sedikit dari mereka yang memperketat standar produksi, mengantisipasi kemungkinan diliput oleh food vlogger. Di sisi lain, komunitas influencer pun mulai membicarakan pentingnya memiliki kode etik bersama.

“Kalau tidak hati-hati, kita bisa jadi korban dari konten yang viral tapi tidak sepenuhnya akurat,” kata salah satu pemilik restoran di Jakarta.

Beberapa vlogger bahkan mulai menyertakan disclaimer dalam video mereka, menyatakan bahwa semua ulasan adalah opini pribadi dan berdasarkan pengalaman saat itu. Upaya ini diambil sebagai bentuk perlindungan hukum.

Reaksi Netizen: Terbelah Antara Dukungan dan Kecaman

Di media sosial, perdebatan tak kunjung reda. Ada yang membela Codeblu sebagai whistleblower yang berani bersuara demi kesehatan publik. Namun ada pula yang menganggapnya terlalu provokatif dan tidak etis.

Salah satu netizen menulis:
“Kalau benar dapurnya kotor dan ada tikus, kenapa Clairmont tidak introspeksi? Harusnya itu jadi pelajaran.”

Sementara komentar lain menyatakan:
“Review boleh, tapi jangan sampai menyebarkan hoaks. Itu bisa merugikan banyak orang.”

Arah Penyelesaian: Menunggu Proses Hukum

Hingga kini, pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan. Proses pemanggilan saksi tambahan dan kemungkinan dilanjutkannya kasus ke pengadilan perdata masih berlangsung.

Bagi Codeblu, ini mungkin adalah pelajaran pahit tentang bagaimana satu video bisa mengubah segalanya. Sementara bagi Clairmont, ini adalah ujian reputasi yang sangat berat.

Penutup: Saat Kritik dan Bisnis Beradu di Era Digital

Kasus antara Codeblu dan Clairmont adalah refleksi dari zaman digital yang tak mengenal ampun. Di satu sisi, kekuatan publik lewat media sosial bisa menjadi alat kontrol. Namun di sisi lain, kekuatan itu juga bisa berubah menjadi bumerang bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan fakta yang kuat.

Apakah kritik terhadap makanan harus dibungkam? Tentu tidak. Tapi cara menyampaikannya, sumber informasinya, dan tujuan akhirnya harus jelas. Hukum kini menjadi penengah atas batas antara kritik, hoaks, dan pencemaran nama baik.

Posting Komentar

0 Komentar