![]() |
Perang Kota: Film Revolusi Tanpa Romantisme, Tafsir Kritis atas Masa Bersiap |
Jakarta, 1946. Usia republik baru setahun. Namun, Indonesia tidak baik-baik saja. Meski kata “merdeka” telah digaungkan, kenyataan di lapangan jauh dari euforia kemerdekaan. Harga bahan pangan melonjak, dan keamanan publik porak-poranda. Pasukan Sekutu yang datang membawa bendera “penjaga perdamaian” ternyata diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration), agen Belanda yang ingin mengembalikan kekuasaan kolonial. Di tengah kekacauan, lahirlah perlawanan bersenjata dari para laskar pemoeda. Sebuah kondisi insurgensi pun merebak, mengubah kota menjadi ladang perang gerilya.
Di tengah kekacauan ini, muncul sosok Fatimah (diperankan Ariel Tatum), perempuan bersenjata laras panjang yang baru saja membunuh “ubel-ubel”—sebutan untuk serdadu India Sikh dari pasukan Inggris. Bersama anak angkatnya, Salim (Ar Barrani), Fatimah kembali ke toko Babah Tan (Chew Kin Wah) yang sunyi pasca-serangan. Tujuannya bukan mulia: ia ingin menjarah sekarung beras. Tidak ada soal moral—yang penting bisa makan dan bertahan hidup. Langkah Fatimah membelah jalan sepi dengan alunan lagu jazz klasik Summertime oleh Andrea Motis menjadi pembuka film Perang Kota yang berbeda dari film sejarah lainnya.
Adaptasi Berani dari Karya Sastra Klasik
Film ini bukanlah glorifikasi revolusi yang penuh semangat nasionalisme dan bendera merah putih. Perang Kota, adaptasi bebas dari novel Jalan Tak Ada Ujung (1952) karya Mochtar Lubis, membawa pendekatan kontemporer dan sangat kritis terhadap narasi revolusi Indonesia. Kisahnya berpusar pada Isa (Chicco Jerikho), guru musik dan mantan gerilyawan yang mengalami trauma dan impotensi akibat perang. Ia bukan pahlawan sempurna. Ia ringkih, gelap, dan berjuang melawan sisi kelam dirinya sendiri.
Isa menjadi potret manusiawi dari masa revolusi yang penuh paradoks. Di satu sisi, ia terlibat dalam rencana serangan bersama laskar pemoeda. Di sisi lain, ia mempertanyakan makna dari perjuangan itu sendiri, terlebih saat melihat rekan-rekannya membunuh dua perempuan tak berdosa yang dituduh sebagai mata-mata. Isa mengecam keras, “Apa bedanya kita dengan Belanda?”—sebuah kalimat lirih yang menjadi gugatan moral film ini.
Fatimah: Perempuan yang Mandiri dan Tidak Terkungkung Narasi Patriarkal
Seperti karyanya terdahulu Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), Mouly Surya kembali membingkai perempuan dengan cara yang kuat dan tidak biasa. Fatimah bukanlah korban. Ia tahu apa yang ia mau. Ia mampu bertahan, memilih, bahkan memberontak terhadap norma. Dalam film ini, Fatimah menjalin hubungan badaniah dengan Hazil (Jerome Kurnia), sahabat Isa, dalam hubungan seksual tanpa ikatan yang bisa disebut friends with benefits (FWB).
Namun, yang menarik, Mouly tidak mengeksploitasi tubuh Fatimah sebagai objek. Ia tampil modis dan kuat dengan gaun A-line ala tahun 1940-an, memadukan gaya vintage dengan kesan independen. Dalam satu adegan, Fatimah menggerutu tentang bagaimana kehadiran Salim mengubah hidupnya. Tapi keluhan itu bukan semata beban keibuan, melainkan pergulatan batin akan eksistensi dan identitasnya sebagai individu dalam revolusi.
Visual dan Audio yang Klasik Namun Relevan
Penggunaan rasio layar 4:3, warna kelam, dan sentuhan jazz George Gershwin yang menghanyutkan dalam format Dolby Atmos memberikan rasa klasik yang memikat. Semarang, sebagai lokasi syuting yang menggantikan Batavia, tampil dengan nuansa kota tua yang mencekam namun estetik. Semuanya berpadu dalam narasi yang kokoh dan cenderung minimalis. Dialog dalam film ini bukan khotbah. Tapi gestur, atmosfer, dan konflik emosional antar tokohnya menyampaikan pesan yang sangat dalam.
Film ini bukan hanya menceritakan, tapi juga menggugat sejarah. Perang Kota, atau The City is A Battlefield, menutup Festival Film Internasional Rotterdam ke-54 di Belanda dengan tepuk tangan panjang. Di Indonesia, film ini mulai tayang di bioskop pada 30 April 2025.
Bersiap: Masa Gelap yang Tersapu dari Ingatan
Film ini juga membawa kembali istilah masa Bersiap, fase revolusi pasca-kemerdekaan yang penuh kekerasan. Meskipun tidak diakui dalam historiografi resmi Indonesia, masa ini menyimpan luka kolektif. Banyak nyawa melayang, baik warga Belanda, Indo, Tionghoa, maupun pribumi sendiri, yang dituduh sebagai kolaborator tanpa bukti.
Sebagaimana ditulis oleh wartawan Kwee Thiam Tjing dalam Indonesia Dalem Api dan Bara (1947), kekacauan itu menyeret semua kalangan. Revolusi yang dimaksudkan untuk membebaskan justru memakan anaknya sendiri. Dalam konteks ini, istilah “disiap” dalam novel Mochtar Lubis bukan hanya aba-aba serangan, tapi juga eksekusi.
Kekerasan dalam Revolusi dan Kekerasan yang Kita Legitimasi Hari Ini
Mouly Surya menangkap esensi dari karya Mochtar Lubis bukan dengan meniru, tapi dengan merasakannya. Ia menyerap amarah, luka, dan paradoks dari masa itu, lalu menafsirnya ke dalam realitas sinema hari ini. Kekerasan yang dulu dianggap wajar demi revolusi, kini hadir dalam bentuk lain—atas nama stabilitas, keamanan, dan negara.
“Ya, kita merdeka. Tapi persoalan belum usai. Kita masih dalam perjuangan panjang menuju keadilan yang beradab. Keberanian mungkin ada, tapi keadilan masih impoten,” demikian narasi akhir yang terasa seperti tamparan halus.
Kesimpulan: Film yang Tak Perlu Teriak untuk Menyentuh
Perang Kota bukan film untuk memompa nasionalisme. Ia bukan ajakan untuk bertempur. Tapi ia adalah pengingat bahwa kemerdekaan adalah proses panjang, menyakitkan, dan penuh luka. Bahwa dalam setiap revolusi, ada korban yang tak disebut. Dan bahwa kekerasan yang dibenarkan dulu, bisa saja menjadi kekerasan yang kita ulang hari ini—dengan cara yang lebih halus, tapi tak kalah menyakitkan.
Film ini layak ditonton bukan hanya karena artistiknya, tapi karena keberaniannya menggali luka sejarah yang nyaris terlupakan. Tafsir yang tidak hanya kontemplatif, tetapi juga sangat relevan.
0 Komentar