![]() |
Mahasiswi ITB Diduga Pembuat Meme Prabowo-Jokowi |
Penangkapan Mahasiswa ITB karena Meme: Amnesty Sebut Kriminalisasi Ekspresi
Bandung, 10 Mei 2025 — Gelombang kritik terhadap tindakan Kepolisian Republik Indonesia kembali mencuat setelah penangkapan seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS. Mahasiswa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain itu ditahan oleh Bareskrim Polri karena mengunggah meme yang menggambarkan Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo tengah berciuman.
Tindakan aparat yang menjadikan unggahan tersebut sebagai dasar hukum untuk penangkapan menuai sorotan publik, terutama dari lembaga-lembaga yang selama ini aktif memperjuangkan hak asasi manusia dan kebebasan sipil.
Salah satu reaksi keras datang dari Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, yang menyebut penangkapan itu sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi. Ia menegaskan bahwa tindakan aparat hukum tersebut mencerminkan wajah represif pemerintah terhadap suara-suara kritis masyarakat, khususnya di dunia akademik dan seni.
"Kali ini dengan menggunakan argumen kesusilaan," ujar Usman dalam pernyataan tertulisnya, Jumat, 9 Mei 2025.
Bukan Kasus Pertama, Amnesty: Sudah 530 Kasus dalam 5 Tahun
Menurut data Amnesty Internasional Indonesia, praktik kriminalisasi terhadap ekspresi masyarakat sipil bukanlah hal baru. Selama lima tahun terakhir, tercatat sedikitnya 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi, yang melibatkan 563 korban.
Usman menyebut bahwa mayoritas tindakan kriminalisasi dilakukan oleh patroli siber Polri dengan 259 kasus dan 271 korban, serta oleh pemerintah daerah dengan 63 kasus dan 68 korban.
“Ini mencerminkan pola yang sistematis. Kepolisian maupun pemerintah daerah secara rutin menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai alat untuk membungkam kritik,” ungkap Usman.
Nikmati Sensasi Bermain Seru di Dauntogel!
Pasal-pasal UU ITE yang Digunakan untuk Menjerat Mahasiswa
Dalam kasus mahasiswa ITB tersebut, Kepolisian menjerat SSS dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 51 ayat (1) UU ITE. Pasal-pasal ini berkaitan dengan distribusi informasi elektronik yang dinilai melanggar norma kesusilaan.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Erdi A. Chaniago, menyatakan bahwa kasus tersebut masih dalam proses penyidikan.
“Saat ini masih dalam proses penyidikan,” ujar Erdi saat dikonfirmasi pada Jumat, 9 Mei 2025.
Langkah hukum ini menuai kontroversi karena dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa keributan di media sosial tidak tergolong sebagai tindak pidana.
Usman Hamid menambahkan, "Pembangkangan Polri atas putusan MK tersebut mencerminkan sikap otoriter aparat yang menerapkan respons represif di ruang publik.”
Admintoto Hadirkan Hiburan Digital dengan Pengalaman Premium!
Reaksi dari Kampus ITB dan Orang Tua Mahasiswa
Pihak ITB menyatakan telah melakukan koordinasi dengan orang tua dari mahasiswa yang bersangkutan. Dalam pernyataan resminya, Direktur Komunikasi dan Humas ITB, Nurlaela Arief, mengatakan bahwa orang tua SSS telah datang ke kampus dan menyampaikan permintaan maaf atas tindakan anak mereka.
"Orang tua dari mahasiswi sudah datang ke ITB dan menyatakan permintaan maaf," kata Nurlaela.
Lebih lanjut, Nurlaela juga menyampaikan bahwa ITB telah melakukan komunikasi dengan Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM) dan tetap akan memberikan pendampingan hukum serta psikologis terhadap mahasiswa tersebut.
Represi di Dunia Akademik: Ancaman terhadap Demokrasi
Kasus ini kembali membuka perdebatan tentang posisi dunia akademik sebagai ruang bebas berpikir dan berekspresi. Banyak pengamat menilai bahwa penangkapan mahasiswa seni karena karya digital atau meme menunjukkan betapa pemerintah tidak siap menghadapi kritik dalam bentuk apapun, bahkan jika itu disampaikan dalam bahasa seni atau satir.
Pengamat sosial dan budaya dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Setiawan Arief, mengatakan bahwa tindakan ini merupakan pembungkaman ruang-ruang ekspresi yang selama ini menjadi nafas dari kehidupan kampus.
“Mahasiswa seni sering mengekspresikan gagasan mereka dalam bentuk visual atau simbolik. Kalau ini dianggap kejahatan, maka kita sedang berjalan mundur sebagai bangsa demokratis,” tegasnya.
Redmitoto, Hiburan Digital dengan Hadiah Setiap Hari!
UU ITE dan Desakan Revisi: Sudah Saatnya?
Kasus ini menambah daftar panjang kritik terhadap UU ITE yang dinilai memiliki pasal-pasal multitafsir dan rawan disalahgunakan. Revisi terhadap UU ITE sudah lama digaungkan, namun hingga kini belum ada langkah konkret dari pemerintah atau legislatif.
Menurut Usman Hamid, “UU ITE seharusnya tidak lagi digunakan untuk menjerat warga sipil yang mengungkapkan ekspresinya. Negara semestinya menjamin kebebasan berekspresi, bukan malah mengkriminalkannya.”
Lembaga-lembaga sipil lainnya, seperti KontraS, LBH Jakarta, dan SAFEnet, juga telah lama menyerukan penghapusan pasal-pasal karet dalam UU ITE yang bisa digunakan untuk menjerat aktivis, jurnalis, seniman, dan masyarakat umum.
Kebebasan Berekspresi di Era Digital: Masih Adakah?
Dengan dominasi dunia digital dalam komunikasi publik, kebebasan berekspresi kini berada di persimpangan. Di satu sisi, internet memungkinkan penyebaran informasi dan kritik secara luas. Namun di sisi lain, regulasi dan sensor negara juga ikut meningkat.
Menurut data SAFEnet, pada 2024 saja tercatat lebih dari 120 kasus pelaporan UU ITE terhadap konten digital, sebagian besar menyasar aktivis, mahasiswa, dan jurnalis.
Penggunaan argumen “kesusilaan” dalam kasus meme Prabowo-Jokowi menjadi catatan tersendiri. Kesusilaan, sebagai norma yang bersifat subjektif dan kultural, dinilai rentan digunakan sebagai dalih untuk membungkam kritik politik.
Penutup: Apa yang Bisa Dilakukan?
Dalam demokrasi yang sehat, kritik dan ekspresi publik adalah bagian dari kebebasan fundamental. Jika negara terus-menerus merespons kritik dengan tindakan hukum, maka yang tercipta adalah ketakutan dan pembungkaman.
Masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga HAM menyerukan agar proses hukum terhadap mahasiswa ITB dihentikan dan semua pihak kembali menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan berekspresi.
Revisi UU ITE menjadi semakin mendesak. Selain itu, pendidikan publik terhadap pentingnya demokrasi dan kebebasan sipil juga harus diperkuat.
“Demokrasi bukan tentang menyenangkan semua pihak, tapi tentang memberikan ruang bagi semua suara,” tutup Usman Hamid.
Kunjungi juga: Daungroup Indonesia
0 Komentar